Tag Archives: HARI BIASA PEKAN BIASA XXXIII

PENDUDUK YERUSALEM MENOLAK RAHMAT ALLAH

PENDUDUK YERUSALEM MENOLAK RAHMAT ALLAH

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIII – Kamis, 23 November 2023)

Pfak S. Klemens I, Paus Martir

Pfak S. Kolambanus, Abas

Ketika Ia telah mendekati dan melihat kota itu, Yesus menangisinya, kata-Nya: “Alangkah baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. Sebab akan datang harinya, ketika musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan. Mereka akan membinasakan engkau beserta dengan penduduk yang ada padamu, dan mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat ketika Allah datang untuk menyelamatkan engkau.” (Luk 19:41-44)

Bacaan Pertama: 1 Mak 2:15-29; Mazmur Tanggapan: Mzm 50:1-2,5-6,14-15

Sang penulis Injil – Lukas – seringkali menggunakan kontras-kontras yang kuat dalam berbagai narasinya. Misalnya dalam perumpamaan tentang orang kaya dan pengemis Lazarus (Luk 16:19-31), perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Luk 18:9-14). Bacaan Injil hari ini didahului dengan nyanyian-nyanyian penuh sukacita para murid yang mengiringi-Nya ketika rombongan-Nya mendekati Yerusalem – peristiwa yang dalam liturgi Gereja dikenal sebagai “Hari Minggu Palma”. Dengan suara nyaring mereka mereka memuji-muji Allah oleh karena segala mukjizat yang telah mereka lihat. Mereka menyanyikan Mazmur: “Terpujilah dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!” (Mzm 118:26). Bagaimana dengan Yesus? Ia memandang kota Yerusalem, kemudian menangisi kota suci itu dan berkata: “Alangkah baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu!” (Luk 19:42). Kemudian Yesus melanjutkan pernyataan-Nya itu dengan nubuatan-Nya tentang keruntuhan kota Yerusalem (Luk 19:43-44).

Yerusalem sebenarnya dapat menjadi pusat utama Kekristenan (Kristianitas), pusat dari mana pesan Kristiani dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Karena penolakannya terhadap sang Mesias, maka Yerusalem hanya sebentar saja menjadi pusat penyebaran Kabar Baik Yesus Kristus. Pada tahun 70 kota itu praktis dihancur-leburkan oleh orang Romawi. Yesus sudah melihat peristiwa keruntuhan kota Yerusalem itu jauh hari sebelum terjadinya.

Oleh karena itulah Yesus menangisi kota Yerusalem. Ia mengetahui apa yang akan menimpa kota itu karena penduduknya menolak rahmat Allah. Sebenarnya para penduduk kota Yerusalem dapat mengetahui apa yang akan terjadi, namun mereka tidak mau mendengarkan sabda Allah. Mereka menolak Kristus!

Bagaimana dengan kita sendiri? Banyak dari rahmat Allah seringkali datang kepada kita dalam bentuk ajaran Gereja, yang dimaksudkan untuk mempersiapkan diri kita agar dapat menjalani kehidupan Kristiani yang benar seturut ajaran Kristus sendiri, membimbing serta menuntun kita, dan memberikan kepada kita Sabda yang kudus dari Allah sendiri. Apakah kita memanfaatkan bimbingan serta tuntunan Allah melalui Gereja, dengan demikian memperoleh pengenalan sejati tentang apa saja yang benar dan/atau salah; juga bertumbuh dalam nilai-nilai Kristiani yang sejati?

Atau, apakah Yesus Kristus harus menangisi kita juga? Apakah Dia harus menangisi keluarga kita, komunitas kita, atau kota-kota kita? Apakah Dia harus menangis karena iman-kepercayaan kita yang lemah, karena kita tidak menaruh kepercayaan kepada-Nya, atau bahkan menolak diri-Nya? Apakah Dia menangis karena kita menolak untuk mendengarkan sabda-Nya atau bimbingan serta tuntunan dari Gereja-Nya?

DOA: Tuhan Yesus Kristus, kami sungguh tahu dan mengenal jalan menuju damai-sejahtera yang sejati, karena hal itu ada dalam Sabda-Mu, Gereja-Mu, yaitu Tubuh-Mu sendiri di atas bumi. Terpujilah nama-Mu selalu! Amin.

Jakarta, 22 November 2023 [Pw S. Sisilia, Perawan Martir]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

MELIHATLAH SEKARANG, IMANMU TELAH MENYELAMATKAN ENGKAU!

MELIHATLAH SEKARANG, IMANMU TELAH MENYELAMATKAN ENGKAU!

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIII – Senin, 20 November 2023)

FMM: Pfak S. Agnes dr Assisi, Pelindung  Pra-Novis FMM

Waktu Yesus hampir tiba di Yerikho, ada seorang buta yang duduk di pinggir jalan dan mengemis. Mendengar orang banyak lewat, ia bertanya, “Apa itu?” Kata orang kepadanya, “Yesus orang Nazaret lewat.” Lalu ia berseru, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Mereka yang berjalan di depan menegur dia supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru, “Anak Daud, kasihanilah aku!” Lalu Yesus berhenti dan menyuruh membawa orang itu kepada-Nya. Ketika ia telah berada di dekat-Nya, Yesus bertanya kepadanya, “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Jawab orang itu, “Tuhan, supaya aku dapat melihat!” Lalu kata Yesus kepadanya, “Melihatlah sekarang, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Seketika itu juga ia dapat melihat, lalu mengikuti Dia sambil memuliakan Allah, Melihat hal itu, seluruh rakyat memuji-muji Allah. (Luk 18:35-43)

Bacaan Pertama: 1Mak 1:10-15,41-43,54-57,62-64; Mazmur Tanggapan: Mzm 119: 55,61,134,150,155,158

“Melihatlah sekarang, imanmu telah menyelamatkan engkau!” (Luk 18:42)

Begitu sering kita membaca, bahwa ketika Dia menyembuhkan seorang buta atau lumpuh, atau  yang menderita sakit-penyakit lainnya, Yesus mengatakan kepada orang itu, “Imanmu telah menyelamatkan engkau” , misalnya kepada seorang dari sepuluh orang kusta yang disembuhkannya (Luk 17:19); kepada perempuan berdosa yang mengurapinya (Luk 7:50).

Iman memberikan kepada kita visi batiniah mendalam, yang lebih penting  daripada karunia kesembuhan itu sendiri, seperti membuat mata orang dapat melihat. Seorang yang memiliki iman memiliki mata terbuka yang dapat melihat jari-jari Allah bergerak menelusuri rencana hidupnya di dunia ini.

Dalam segala hal yang diamatinya, seorang insan beriman senantiasa memandang Allah dulu. Barangkali cara terbaik adalah menggambarkan dengan suatu kontras: seorang pribadi manusia yang mengikuti jalan Allah dan seorang baik, namun dari dunia ini – katakanlah bahwa dia adalah seorang yang percaya pada ilmu pengetahuan semata. Mengapa kita sampai membanding-bandingkan seperti itu. Karena ada kecenderungan di dunia modern untuk mencari kontradiksi-kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan Allah, seakan-akan Allah sang Mahapencipta bukanlah penguasa, sumber dan motor dari ilmu pengetahuan itu. Mereka tidak melihat bahwa ilmu pengetahuan pun sebenarnya adalah ciptaan Allah. Mereka berpandangan seakan-akan ilmu pengetahuan dapat menghalangi pancaran dari sumber pengetahuan yang jauh lebih tinggi.

Pada dasarnya  asumsi sedemikian dapat mengerucut pada pandangan bahwa benda-benda bukanlah pribadi-pribadi, maka kita tidak dapat mempunyai pribadi-pribadi; atau apabila kita menerima keberadaan pribadi-pribadi, maka kita tidak dapat percaya kepada benda-benda. Mengapa kita tidak mempunyai dua-duanya? Bukankah kita mempunyai bukti-bukti dari keberadaan pribadi-pribadi dan benda-benda? Apakah tidak mungkin bagi kita untuk mengenal baik ciptaan maupun sang Pencipta?

Bagaimana seorang ilmuwan memandang dunia ini? Ia mempelajari benda-benda dan hubungan antara benda-benda ini dan hukum yang mengatur hal-ikhwal benda-benda. Dunia kita memang terbuat dari benda-benda – unsur-unsur, kombinasi-kombinasi, dan hukum yang mengatur semua itu.

Di lain pihak seorang pendoa, yang melihat dunia yang sama, mencari seorang Pribadi: Orang itu mempelajari tindakan pribadi, tujuan, rencana dengan mana Pribadi termaksud menggerakkan dunia.

Mengapa hal-hal ini harus menjadi kontradiktif? Para ilmuwan mencari hukum, sedangkan seorang beriman berbicara dengan sang Pembuat Hukum itu. Sang ilmuwan mengejar pengetahuan: ia menyelidiki hal-hal yang dapat diamati, ia membuat klasifikasi atas benda-benda yang diselidiki, lalu mencari penyebab sekunder dari semua itu.

Seorang pendoa mencari suatu relasi pribadi, dia menanggapi sang Pribadi yang telah memberikan hukum-hukum dan sebab-sebab dari makna hukum-hukum itu. Dia juga mencari pengetahuan, namun demi Kasih. Inilah pribadi manusia yang dipuji oleh Yesus ketika mengatakan, “Imanmu telah menyelamatkan engkau!” Kita juga kiranya dapat mendengar seakan Yesus berkata: “Engkau telah melangkah melampaui benda-benda, sehingga sampai kepada suatu rasa percaya pada diri sang Pribadi yang sebenarnya adalah sumber dari segala sesuatu yang baik. Dan rasa percayamu, imanmu, kasihmu telah bekerja dengan penuh kuat-kuasa dalam hidupmu.”

DOA: Yesus, Engkau adalah Tuhan dan Juruselamat kami. Kami datang menghadap hadirat-Mu seperti orang buta di dekat Yerikho, tanpa rasa ragu dan tanpa rasa takut. Bukalah mata hati kami sehingga dengan demikian kami dapat memandang diri-Mu dalam segala kemurnian, kasih, dan kesetiaan. Yesus, Putra Daud, kasihanilah kami! Amin

Jakarta,  19 November 2023 [HARI MINGGU BIASA XXXIII – TAHUN A]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

ALLAH BUKANNYA ALLAH ORANG MATI, MELAINKAN ALLAH ORANG HIDUP

(Bacaan Injil Misa, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIII – Sabtu, 20 November 2021)

FMM: Peringatan Fakultatif S. Agnes dari Assisi, Pelindung Pra-Novis FMM

Kemudian datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka bertanya kepada-Nya, “Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seseorang yang mempunyai saudara laki-laki, mati, sedangkan istrinya masih ada, tetapi ia tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan istrinya itu dan memberi keturunan bagi saudaranya itu. Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan lalu mati dengan tidak meninggalkan anak. Lalu perempuan itu dikawini oleh yang kedua, dan oleh yang ketiga dan demikianlah berturut-turut oleh ketujuh saudara itu, merekanya semuanya mati tanpa meninggalkan anak. Akhirnya perempuan itu pun mati. Bagaimana sekarang dengan perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristrikan dia.” Jawab Yesus kepada mereka, “Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan. Mereka tidak dapat mati lagi, sebab mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan. Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam cerita tentang semak duri, di mana ia menyebut sebagai Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” Mendengar itu beberapa ahli Taurat berkata, “Guru, jawab-Mu itu tepat sekali.” Sebab mereka tidak berani lagi menanyakan apa-apa kepada Yesus. (Luk 20:27-40)

Bacaan Pertama: 1Mak 6:1-13; Mazmur Tanggapan: Mzm 9:2-4,6,16b,19

Dalam bacaan Injil hari ini Yesus ditantang oleh sekelompok orang Yahudi ultra-konservatif – orang-orang Saduki – yang mendasarkan semua kepercayaan mereka atas tafsir yang bersifat literal atas hukum Musa dan yang menyangkal adanya kehidupan setelah kematian.

Orang-orang Saduki itu datang dengan dengan sebuah masalah/persoalan tentang seorang perempuan yang telah mengawini tujuh orang suami (mereka adalah kakak-beradik, untuk mengikuti hukum Levirat). Siapakah dari tujuh bersaudara yang telah menikah dengan satu perempuan selagi masih di dunia yang menjadi suaminya di dunia akhirat kelak? Ini dimaksudkan untuk membuktikan keyakinan mereka bahwa tidak ada kebangkitan badan setelah seseorang mati. Menanggapi orang-orang Saduki tersebut Yesus menyitir Kitab Suci mereka untuk mengklaim bahwa orang mati sungguh akan mengalami kebangkitan. Yesus dengan amat tegas mengatakan bahwa  hidup kekal-abadi tidak dapat dipikirkan dalam kerangka kehidupan di dunia ini. Di dunia akhirat tak ada lagi pernikahan, sebab mereka tidak akan mati lagi.

Yesus mengacu kepada nas Kitab Suci di mana Allah menyatakan diri-Nya kepada Musa pada semak duri dengan api bernyala (tetapi tidak membakar) sebagai Allah dari  ayahnya secara biologis, Allah dari Abraham, Allah dari Ishak dan Allah dari Yakub. Dengan perkataan lain, Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup. Semua hidup bagi Allah (lihat  Kel 3:2,6).

Kita sungguh tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Kitab Suci terhadap pertanyaan berikut ini: “Bagaimana ‘seorang’ Allah yang baik memperkenankan begitu banyak kejahatan terjadi, seperti pembantaian tujuh orang laki-laki bersaudara (2Mak 7:1-42)? Patut dicatat bahwa kita baru mendapatkan afirmasi dari iman kita setelah kita mengalami kematian. 

Betapa mengerikan sekalipun  suatu kematian, apakah karena terorisme atau perang nuklir, kehidupan di esok harinya akan mengalami restorasi.  Suatu surga yang baru dan sebuah bumi yang baru akan muncul. Bahkan seandainya tubuh-tubuh kita sudah menguap karena ledakan bom nuklir, pada suatu hari semua itu bangkit dari debu  – direstorasikan dan ditransformasikan oleh Tuhan – karena Allah kita adalah Allah orang hidup dan bukan Allah orang mati.

Kalau hal ini ini akan benar sehari setelah selesai perang nuklir, maka hal ini juga benar sebelum terjadinya peristiwa tersebut. Pengharapan Kristiani tidak memperkenankan adanya keputusasaan. Betapapun dekatnya kita dengan maut, apakah karena penyakit kanker ganas atau karena pengaruh radioaktif yang disebabkan oleh serangan nuklir, kita tidak dapat membiarkan diri kita lesu-tak bersemangat. Selama kita masih hidup, pencarian kita akan perdamaian harus mencerminkan optimisme Kristiani, bukan pesimisme. Selama kita hidup, upaya-upaya kita untuk membangun Kerajaan Allah harus menunjukkan suatu apresiasi juga terhadap aspek keduniawiannya, tidak membuangnya samasekali. Selama kita hidup, hari ini adalah satu-satunya hari yang berarti, bukan sehari setelah itu. Dengan iman dan pengharapan Kristiani kita cukup kuat untuk survive hari ini, dan hari setelahnya dst.

Sebagai penutup, saya ulangi lagi  bahwa Allah menjelaskan diri-Nya adalah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Hal ini berarti bahwa Bapa-Bapa bangsa itu masih hidup sampai sekarang ini, sebab Allah yang hidup haruslah menjadi Allah orang yang hidup, bukannya Allah orang-orang mati. Allah tidak berhenti menjadi Allah bagi mereka yang melayani dan mengasihi Dia. Hanya ada satu hal yang tidak dapat binasa, yaitu cintakasih.

DOA: Tuhan Yesus Kristus, Engkau telah mengikat diri-Mu kepada kami masing dalam kasih. Persatukanlah kami dengan Engkau dan transformasikanlah semua pilihan kami menjadi tanggapan-tanggapan terhadap kasih-Mu yang besar dan agung. Amin.

Jakarta, 19 November 2021 [PW/Peringatan Fakultatif S. Agnes dr Assisi]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

YESUS DATANG KE TENGAH DUNIA UNTUK MENEBUS HUMANITAS KITA

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIII – Jumat, 19 November 2021)

Keluarga Besar Fransiskan: PW/Peringatan Fakultatif S. Agnes dr Assisi, Perawan [Biarawati Klaris]

Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ, kata-Nya kepada mereka, “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”

Tiap-tiap hari Ia mengajar di dalam Bait Allah. Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang terkemuka dari bangsa itu berusaha untuk membinasakan Dia, tetapi mereka tidak tahu, bagaimana harus melakukannya, sebab semua orang terpikat kepada-Nya dan ingin mendengarkan Dia. (Luk 19:45-48)

Bacaan Pertama: 1 Mak 4:36-37,52-59; Mazmur Tanggapan: 1 Taw 29:10-12bcd

Para seniman-lukis sering melukis Yesus sebagai seorang laki-laki yang lemah lembut, seorang gembala yang sedang mengelus-elus anak domba, gambaran yang tidak salah namun dapat menyesatkan. Mengapa? Karena Yesus dapat menjadi “berbahaya” apabila Bapa-Nya tidak dihormati dengan layak. Ia memang marah ketika memasuki Bait Allah seperti diceritakan dalam bacaan Injil di atas. Sebagai manusia seratus persen, Yesus mengalami keseluruhan aspek emosi manusia seperti kita alami. Rasa sedih, belarasa, rasa takut, sukacita, rasa takjub, dan bahkan marah – semua dikenal oleh Yesus selagi Dia hidup di atas muka bumi ini.

Kebenaran yang indah dari iman kita adalah bahwa Yesus datang ke tengah dunia untuk menebus humanitas kita, bukan untuk menggantinya dengan suatu model yang baru. Bukanlah suatu kejahatan untuk menjadi seorang manusia yang beremosi. Bayangkanlah seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Aku cinta padamu”, namun bebas dari emosi sedikitpun! Seorang pribadi manusia adalah suatu campuran dari makhluk/pengada yang badani (physical being), yang kognitif (cognitive being), yang rasional (rational being), yang beremosi (emotional being), yang rohani (spiritual being). Pada waktu Allah merancang kita dan memberkati atau menganugerahkan kepada kita berbagai emosi dengan rentangan yang cukup lebar dari ujung yang satu ke ujung lainnya, Ia pun mengumumkan bahwa hal tersebut adalah baik, malah sungguh amat baik! (lihat Kej 1:31). Marilah kita menyadari, bahwa emosi-emosi kita hanya akan menggiring kita kepada kesusahan apabila kita memperkenankan emosi-emosi itu menguasai proses pemikiran kita, jadi mengaburkan kemampuan kita untuk berjalan dalam kesatuan dan persatuan dengan Allah.

Kemarahan yang tak terkendali memang dapat memutuskan relasi kita dengan Allah, namun kemarahan Yesus di Bait Allah merupakan suatu tanggapan yang tertata dengan baik, yang mengalir dari relasinya dengan Allah. Yesus mengetahui benar bahwa area Bait Allah dimaksudkan sebagai sebuah tempat doa di mana umat yang takut akan Allah dapat berkumpul untuk melakukan rituale penyembahan kepada YHWH-Allah dan mencari intervensi-Nya dalam kehidupan mereka. Para penukar uang  dan penjual hewan untuk kurban merupakan suatu aspek yang diperlukan bagi upacara penyembahan di Bait Allah, namun tempat-tempat berdagang mereka itu harus terletak di sebelah luar Bait Allah. Sebaliknyalah yang terjadi: “kota” dibawa masuk ke dalam Bait Allah, bukan Kerajaan Allah dibawa masuk ke dalam kota.

Yesus memiliki semangat yang sama sehubungan dengan hati kita (Bait Roh Kudus; 1Kor 6:19) seperti semangat-Nya sehubungan dengan Bait Allah. Apakah kita pernah memperkenankan bisnis dunia (ada yang diperlukan secara mutlak) sepenuhnya mendominir hati kita? Pernahkah kita memperkenankan emosi-emosi kita untuk mempengaruhi keputusan-keputusan dan menghalangi jalan kita bersama Allah? Yesus ingin mengangkat humanitas kita sehingga menjadi cerminan diri-Nya. Roh Kudus-Nya ingin sekali membuat diri kita seperti Yesus sehingga memampukan kita menunjukkan kepada dunia apa artinya menjadi sepenuhnya hidup!

DOA: Tuhan Yesus Kristus, datanglah dan masuklah ke dalam hatiku, dan bersihkanlah segala sesuatu yang tidak berkenan di mata-Mu. Buanglah jauh-jauh “pasar hiruk pikuk” yang berada di pusat hatiku sehingga yang ada adalah ruangan untuk-Mu saja. Tuhan Yesus, jadikanlah hatiku seperti hati-Mu. Amin.

Jakarta, 18 November 2021 [Peringatan Fakultatif Pemberkatan Gereja-gereja Basilik S. Petrus dan Paulus, Rasul]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

ALANGKAH BAIKNYA JIKA PADA HARI INI JUGA ENGKAU MENGERTI APA YANG PERLU UNTUK DAMAI SEJAHTERAMU

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIII– Kamis, 18 November 2021)

Peringatan Fakultatif Pemberkatan Gereja-gereja Basilik S. Petrus dan Paulus, Rasul

OSCCap (Ordo Klaris Kapusin): Peringatan Fakultatif B. Salomea, Perawan

Ketika Ia telah mendekati dan melihat kota itu, Yesus menangisinya, kata-Nya: “Alangkah baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. Sebab akan datang harinya, ketika musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan. Mereka akan membinasakan engkau beserta dengan penduduk yang ada padamu, dan mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat ketika Allah datang untuk menyelamatkan engkau.” (Luk 19:41-44)

Bacaan Pertama: 1 Mak 2:15-29; Mazmur Tanggapan: Mzm 50:1-2,5-6,14-15

Yesus menangisi penghancuran Yerusalem di masa mendatang. Injil mencatat dua peristiwa di mana Yesus menangis: di dekat kubur Lazarus dari Betania (Yoh 11:35) dan pada saat Ia memandang kota suci Yerusalem. Apakah yang menggerakkan Yesus untuk menangisi kota Yerusalem ketika Dia memandang kota itu?

Sebagai catatan dapat kita pegang bahwa Yerusalem mencari keselamatan akhirnya pada aliansi politik semata-mata. Kota itu mau tidak mau akan jatuh karena tidak memiliki kekuatan internal. Rusak secara spiritual – spiritually corrupt. Keterlibatan politis sebagai sebuah intrumen untuk tansformasi masyarakat memang penting, tetapi hal ini bersifat parsial. Yang diurusinya adalah struktur-struktur eksternal. Yang terbaik sekalipun dari struktur-struktur dapat dengan mudah dirusak oleh manusia-manusa yang paling buruk. Suatu transformasi internal juga penting. Dalam hal inilah Yerusalem gagal. Tidak hanya berbagai perilaku eksternal hidup kita yang membutuhkan pembaruan. Kita juga butuh diubah secara internal. Berbagai sikap kita membutuhkan peremajaan. Untuk itu kita tidak membutuhkan modifikasi dalam perilaku, melainkan bimbingan Roh Kudus dalam artian sesungguhnya.

Yesus datang ke kota Yerusalem untuk menawarkan para penduduknya pembebasan yang sejati dan suatu damai-sejahtera yang tidak dapat diberikan oleh penguasa dunia manapun, yaitu pengampunan dosa dan rekonsiliasi dengan Bapa surgawi. Yerusalem mendapat namanya dari sepatah kata Ibrani yang berarti “damai” …… “Salem”. Namun sayangnya, kota Yerusalem belum siap untuk menyambut sang “Raja Damai”. Sabda Yesus: “Engkau tidak mengetahui saat ketika Allah datang untuk menyelamatkan engkau” (Luk 19:44).

Dalam artian tertentu Yesus sebenarnya menghidupkan kembali suatu episode dalam sejarah kota suci ini yang sudah berumur 600 tahun: masa hidup Yeremia, ketika Yerusalem sedang menghadapi sebuah penyerbuan besar-besaran dari pasukan Babel. Nubuatannya yang dibuat-Nya sambil menangis ini terpenuhi ketika pasukan tentara Romawi menghancurkan kota suci Yerusalem dan praktis meratakan Bait Suci pada tahun 70. Patut kita catat, bahwa walaupun ketika Dia meratapi kota Yerusalem bukanlah berarti Dia tidak berpengharapan: “Alangkah baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu  untuk damai sejahteramu!” (Luk 19:42).






Apakah kita (anda dan saya) mengetahui apa saja yang memungkinkan terciptanya damai-sejahtera? Damai-sejahtera yang ditawarkan oleh Yesus lebih daripada sekadar tidak adanya konflik dan peperangan. Damai-sejahtera dari Yesus berarti pembebasan dari keterikatan pada rasa takut, pembebasan dari prasangka, kebencian dan penolakan. Damai-sejahtera dari Yesus adalah kebebasan dari dosa yang datang selagi kita memusatkan pandangan mata kita pada Yesus dan mencoba untuk berjalan mengikuti perintah-perintah-Nya dalam ketaatan. Inilah satu-satunya damai-sejahtera yang membawa kesembuhan, rahmat, serta persatuan dan kesatuan. Keluarga-keluarga, komunitas-komunitas, dan bahkan seluruh negara dan bangsa dapat mengenal damai-sejahtera ini apabila mereka sungguh-sungguh menyingkirkan berbagai halangan yang mencegah mereka merangkul Tuhan.

Damai-sejahtera yang sejati dimungkinkan seturut sampai berapa jauh kita memperkenankan Yesus memerintah hati dan pikiran kita, juga memperhatikan rumahtangga dan relasi-relasi kita. Sabda-Nya dan Roh Kudus-Nya memiliki kuat-kuasa untuk menghancurkan setiap penghalang. Ketika kekhawatiran melanda diri kita, maka Yesus dapat menunjukkan kepada kita bagaimana mengatasi rasa takut kita dengan keberanian dan iman, kepahitan kita dengan cintakasih dan pengampunan, dan intoleransi kita dengan kebaikan hati dan kesabaran.

DOA: Tuhan Yesus Kristus, berikanlah damai-sejahtera-Mu kepada semua orang yang sedang dirundung kekhawatiran dan rasa was-was pada hari ini. Amin.

Jakarta, 17 November 2021 [Pesta S. Elisabet dr Hungaria]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

BAIK SEKALI PERBUATANMU ITU, HAI HAMBA YANG BAIK

(Bacaan Injil Misa Kudus,  – PW S. Elisabet dr Hungaria, Ratu – Pelindung OFS –  Rabu, 17 November 2021)

Keluarga Besar Fransiskan: Pesta S. Elisabet dr Hungaria

FSE [Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabet]: HR S. Elisabet dr Hungaria,  Pelindung Tarekat

Sementara mereka mendengarkan hal-hal itu, Yesus melanjutkan perkataan-Nya dengan suatu perumpamaan, sebab Ia sudah dekat Yerusalem dan mereka menyangka bahwa Kerajaan Allah akan segera kelihatan. Lalu Ia berkata, “Ada seorang bangsawan berangkat ke sebuah negeri yang jauh untuk dinobatkan menjadi raja di situ dan setelah itu baru kembali. Ia memanggil sepuluh orang hambanya dan memberikan sepuluh mina kepada mereka, katanya: Pakailah ini untuk berdagang sampai aku datang kembali. Akan tetapi, orang-orang sebangsanya membenci dia, lalu mengirimkan utusan menyusul dia untuk mengatakan: Kami tidak mau orang ini menjadi raja atas kami. Setelah dinobatkan menjadi raja, ketika ia kembali ia menyuruh memanggil hamba-hambanya yang telah diberinya uang itu, untuk mengetahui berapa hasil dagang mereka masing-masing. Orang yang pertama datang dan berkata: Tuan, mina tuan yang satu itu telah menghasilkan sepuluh mina. Katanya kepada orang itu: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba yang baik; engkau telah setia dalam hal yang sangat kecil, karena itu terimalah kekuasaan atas sepuluh kota. Datanglah yang kedua dan berkata: Tuan, mina tuan telah menghasilkan lima mina. Katanya kepada orang itu: Dan engkau, kuasailah lima kota. Lalu hamba yang lain datang dan berkata: Tuan, inilah mina tuan, aku telah menyimpannya dalam sapu tangan. Sebab aku takut kepada Tuan, karena Tuan orang yang kejam; Tuan mengambil apa yang tidak pernah Tuan taruh dan Tuan menuai apa yang tidak Tuan tabur. Katanya kepada orang itu: Hai hamba yang jahat, aku akan menghakimi engkau menurut perkataanmu sendiri. Engkau  sudah tahu bahwa  aku orang yang keras yang mengambil apa yang tidak pernah aku taruh dan menuai apa yang tidak aku tabur. Jika demikian, mengapa uangku itu tidak kau kaumasukkan ke bank (orang yang menjalankan uang)? Jadi, pada waktu aku kembali, aku dapat mengambilnya dengan bunganya. Lalu katanya kepada orang-orang yang berdiri di situ: Ambillah mina yang satu itu dari dia dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh mina itu. Kata mereka kepadanya: Tuan, ia sudah mempunyai supuluh mina. Jawabnya: Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, juga apa yang ada padanya akan diambil. Akan tetapi, semua seteruku ini, yang tidak suka aku menjadi rajanya, bawalah mereka ke mari dan bunuhlah mereka di depan mataku.”

Setelah mengatakan semuanya itu Yesus mendahului mereka dan meneruskan perjalanan-Nya ke Yerusalem. (Luk 19:11-28)

Bacaan Pertama: 2Mak 7:1,20-31; Mazmur Tanggapan: Mzm 17:1,5-6,8b,15

Perumpamaan Yesus tentang uang mina ini dapat dikatakan merupakan versi Lukas dari “Perumpamaan tentang Talenta” karena serupa (tetapi tak sama) dengan yang  terdapat dalam Injil Matius (Mat 25:14-30). Di sini, Yesus sebenarnya membuat allusi pada suatu peristiwa historis yang baru saja terjadi sebelumnya: Arkhelaus (anak raja Herodes; lihat Mat 2:22) di mana kota Yerikho berada dalam kekuasaannya – pergi ke Roma untuk meminta gelar “Raja” dari Kaisar Agustus – namun sebuah delegasi yang terdiri dari 50 pemimpin Yahudi mengusahakan agar permohonan tersebut ditolak.

Sebenarnya terdapat beberapa macam orang. Mayoritas adalah mereka yang menolak orang yang telah dikirim sebagai raja mereka. Dengan menolak sang raja, mereka memilih kematian ketimbang kehidupan, kegelapan ketimbang terang. Sebagai akibat pilihan mereka, “nasib buruk” mereka tidak dapat dihindari (lihat  Luk 19:27).

Kemudian ada sepuluh orang hamba dari sang bangsawan, yang mewakili macam orang lainnya. Kepada mereka diberikan sepuluh mina sebagai modal dagang sampai sang bangsawan itu kembali sebagai raja, masing-masing satu mina.

“Setelah dinobatkan menjadi raja, ketika ia kembali ia menyuruh memanggil hamba-hambanya yang telah diberinya uang itu, untuk mengetahui berapa hasil dagang mereka masing-masing” (Luk 19:15). Pada waktu kembali sebagai raja, ada seorang hamba yang melapor bahwa dirinya berhasil melipat-gandakan modal yang satu mina itu menjadi sepuluh mina. Ada pula hamba yang berhasil datang dengan lima mina. Kepada hamba yang pertama sang raja memberi ganjaran berupa kekuasaan atas sepuluh kota, sedangkan kepada hamba yang kedua berupa kekuasaan atas lima kota.

Hamba yang ketiga – dengan berbagai alasan – menyimpan mina-nya dalam sapu tangan sehingga tidak membuat mina itu produktif/berbuah. Hal ini membuat sang raja marah dan memerintahkan untuk memberikan satu mina itu kepada hamba yang pertama. “Ambillah mina yang satu itu dari dia dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh mina itu”  (Luk 19:25).

Kita (anda dan saya) – yang mengakui bahwa Yesus adalah Raja kita – masing-masing telah dipercayakan dengan suatu/beberapa karunia/anugerah/talenta. Jelaslah bahwa karunia/anugerah/talenta tersebut bukan untuk diri kita sendiri, melainkan untuk digunakan untuk membangun Kerajaan Allah, yaitu Kerajaan kasih, keadilan dan damai sejahtera (1Kor:12:7 dsj.). Namun demikian, selalu ada orang yang pada dasarnya “mau menyelamatkan nyawanya”, dan ia akan kehilangan nyawanya (Luk 9:24). Hanya dengan “menginventasikan” karunia/anugerah/talenta yang ada pada kita masing-masing dalam  dan bagi sesama kita sajalah maka kita akan menjadi OK.

DOA: Tuhan Yesus Kristus, tolonglah aku agar dapat mengidentikasi secara jelas berbagai karunia/anugerah/talenta yang telah Engkau berikan kepadaku untuk di-sharing-kan dengan orang-orang lain. Ajarlah aku agar mau dan mau menginvestasikan berbagai karunia/anugerah/talenta yang ada padaku dengan baik, sehingga pada akhirnya aku pun dapat mendengar kata-kata-Mu yang indah: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba yang baik; engkau telah setia dalam hal yang sangat kecil”. Amin.

Catatan: Untuk lebih mengenal S. Elisabet dr Hungaria, bacalah tulisan-tulisan tentang  orang kudus ini yang terdapat dalam situs/blog PAX ET BONUM http://catatanseorangofs.wordpress.com; kategori: ORANG-ORANG KUDUS FRANSISKAN.

Jakarta, 16 November 2021 [Peringatan Fakultatif S. Margarita dr Skotlandia; Peringatan Fakultatif S. Gertrudis, Perawan]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

MODEL PERTOBATAN YANG SECARA KHAS DITAWARKAN OLEH YESUS

 (Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIII – Selasa, 16 November 2021)

Peringatan Fakultatif S. Margarita dr Skotlandia; PFak S. Gertrudis, Perawan

Yesus masuk ke kota Yerikho dan berjalan terus melintasi kota itu. Di situ ada seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang yang kaya. Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek. Ia pun berlari mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus yang akan lewat di situ. Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata kepadanya, “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita. Melihat hal itu, semua orang mulai bersungut-sungut, katanya, “Ia menumpang di rumah orang berdosa.” Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan, “Tuhan, lihatlah, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” Kata Yesus kepadanya, “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada seisi rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”  (Luk 19:1-10)

Bacaan Pertama: 2Mak 6:18-31; Mazmur Tanggapan: Mzm 43:2-7

Bacaan Injil hari ini adalah tentang pertobatan Zakheus, kepala pemungut cukai di Yerikho. Dari kisah pertobatan Zakheus ini kita dapat melihat sebuah model pertobatan yang secara khas ditawarkan oleh Yesus.

Yang menyebabkan si kepala pemungut cukai bertobat bukanlah ketakutan terhadap hukuman yang akan menimpa dirinya karena dosa-dosanya. Yang membuat Zakheus bertobat dan menerima kehadiran Yesus adalah belas-kasih-Nya. Kasih Yesus yang tulus mendahului tindakan pertobatan Zakheus. Yesus adalah yang pertama-tama berinisiatif mencari dan menerima Zakheus. Tanpa paksa Yesus menarik para pendosa kepada diri-Nya agar dapat bersatu dengan diri-Nya dan diselamatkan. Yesus senantiasa mengundang, menawarkan dan sekaligus menghormati kehendak bebas setiap orang. Namun karena Yesus sungguh mengasihi dan menerima Zakheus yang berdosa, maka Zakheus bertobat. Dengan perkataan lain, pertobatan manusia merupakan buah dari belas kasih Allah yang tanpa syarat.

Allah yang menghendaki, Allah juga yang berinisiatif dan berkarya di dalamnya. Dengan cara yang sangat personal Yesus menunjukkan karya Allah itu. Ia mengasihi Zakheus menurut keadaan dan kebutuhan hidupnya yang konkret. Rahmat Allah selalu bersifat unik untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhan hatinya. Rahmat itu juga yang menegakkan martabat manusia dan mengembangkannya.

Belas kasih Allah itulah yang mengubah seluruh hidup Zakheus dan juga mendatangkan sukacita besar dalam hatinya. Karena sukacitanya bertemu dan bersatu dengan Yesus, Zakheus tanpa segan-segan mengakui segala dosanya. Pengakuan kejahatannya segera diikuti dengan kemantapan hatinya untuk menggunakan sebagian besar kekayaannya demi kebaikan dan keuntungan orang-orang miskin dan sesama yang telah dirugikannya. Pelayanan Zakheus kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang dirugikan berpegang pada kasih Yesus yang tanpa syarat telah menerima dia. Pertobatan dan perubahan hidup Zakheus serentak bersifat personal dan sosial. Karena belas kasih Yesus, Zakheus berubah menjadi salah satu anak Abraham sejati, yaitu orang yang telah mengalami karya keselamatan Allah dan kemudian menyerahkan dirinya secara total untuk mewartakan karya keselamatan itu kepada sesamanya agar semakin banyak orang mengalami hal yang sama.

Saudari dan Saudara terkasih, sampai hari ini pun Yesus masih mencari kita (anda dan saya) dan menarik kita untuk bersatu dengan diri-Nya. Yesus mencari kita di tengah-tengah kehidupan kita sehari-hari: di rumah, di tempat kerja, dan dimana saja, bahkan di tempat-tempat yang seringkali tidak kita bayangkan sebelumnya. Namun demikian, bersediakah kita belajar dari sikap dan tindakan Zakheus yang tanpa malu berlari dan memanjat pohon untuk bertemu dengan Yesus? Bersedikah kita menanggapi belas kasih Tuhan yang akan mengubah  seluruh corak kehidupan kita dari “pendosa” menjadi orang yang diselamatkan dan yang diutus menjadi pewarta keselamatan-Nya?

DOA : Tuhan Yesus Kristus, aku berterima kasih penuh syukur untuk karunia keselamatan yang telah Kauberikan kepadaku. Semoga aku tidak pernah cepat merasa puas dalam mengasihi-Mu dan sesamaku. Amin.

Jakarta, 15 November 2021 [Peringatan Fakultatif S. Albertus Agung, Uskup Pujangga Gereja]

Sdr. F.X.Indrapradja, OFS

CERITA SI BUTA INI DIAKHIRI DENGAN SEBUAH HAPPY ENDING

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIII – Senin, 15 November 2021)

Peringatan Fakultatif S. Albertus Agung, Uskup Pujangga Gereja

FMM: Pesta Wafatnya B. Marie de la Passion, Pendiri Kongregasi FMM

Waktu Yesus hampir tiba di Yerikho, ada seorang buta yang duduk di pinggir jalan dan mengemis. Mendengar orang banyak lewat, ia bertanya, “Apa itu?” Kata orang kepadanya, “Yesus orang Nazaret lewat.” Lalu ia berseru, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Mereka yang berjalan di depan menegur dia supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru, “Anak Daud, kasihanilah aku!” Lalu Yesus berhenti dan menyuruh membawa orang itu kepada-Nya. Ketika ia telah berada di dekat-Nya, Yesus bertanya kepadanya, “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Jawab orang itu, “Tuhan, supaya aku dapat melihat!” Lalu kata Yesus kepadanya, “Melihatlah sekarang, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Seketika itu juga ia dapat melihat, lalu mengikuti Dia sambil memuliakan Allah, Melihat hal itu, seluruh rakyat memuji-muji Allah. (Luk 18:35-43)

Bacaan Pertama: 1Mak 1:10-15,41-43,54-57,62-64; Mazmur Tanggapan: Mzm 119: 55,61,134,150,155,158

Lukas merencanakan Injilnya seperti sebuah perjalanan menuju Yerusalem, kota suci di mana pengorbanan Yesus dan pemuliaan-Nya akan berlangsung. Dari kota inilah Kabar Baik Yesus akan menyebar ke seluruh dunia.

Kita tidak pernah boleh lupa bahwa perjalanan Yesus ke Yerusalem ini bertepatan dengan musim hari raya Paskah: banyak orang berjalan bersama dengan Yesus, para peziarah yang akan merayakan pesta “pembebasan Israel” itu. Malam terakhir untuk berhenti adalah di Yerikho sebuah kota yang jaraknya hanya 20 km dari Yerusalem. Di Yerikho inilah Yesus membuat dua mukjizat, yaitu mencelikkan mata seorang buta (Luk 18:35-43) dan mempertobatkan seorang kepala pemungut cukai (Luk 19:1-10).

Berikut ini ceritanya. Waktu Yesus hampir tiba di Yerikho, ada seorang buta yang duduk di pinggir jalan dan mengemis. Cerita selanjutnya anda dapat membacanya sendiri. Sebuah peristiwa yang kelihatan terjadi secara kebetulan, namun peristiwa ini terjadi setelah Yesus mengumumkan sengsara-Nya untuk ketiga kalinya (Luk 18:31-34). Di situ Lukas mencatat dengan cukup tegas: “Akan tetapi, mereka sama sekali tidak mengerti semuanya itu; arti perkataan itu tersembunyi bagi mereka dan mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan” (Luk 18:34)

Kita juga seperti orang buta yang duduk di pinggir jalan itu. Seperti para murid-Nya, kita “tidak mampu melihat”. Jadi, apabila kita mau memahami benar signifikansi dari “perjalanan ke Yerusalem” ini, maka Tuhan Yesus sendirilah yang harus memberikan kepada kita “mata yang baru”. Seperti si buta di Yerikho, kita pun dapat berseru: “Tuhan berikanlah iman kepada kami … cabutlah selaput di mataku yang menghalang-halangi kami memperoleh penglihatan-Mu atas peristiwa yang terjadi dan segala sesuatu lainnya.”

Orang buta itu mendengar para peziarah menyanyikan “Nyanyian Ziarah” (Mzm 120-134) sesuai kebiasaan yang berlaku pada waktu itu. Ia bertanya, “Apa itu?”, artinya orang buta itu yang mengambil inisiatif. Mereka menjawab pertanyaannya: “Yesus orang Nazaret lewat”. Kata-kata sederhana “Yesus orang Nazaret” jarang dipakai para penulis Injil lain, namun Lukas menggunakannya sebanyak 8 kali dalam “Kisah para Rasul”.

Orang buta itu tidak menggunakan nama Yesus yang baru didengarnya, tetapi menggunakan nama “Yesus, Anak Daud” ketika dia berseru minta tolong kepada Yesus. “Anak Daud” adalah gelar mesianis yang diumumkan kepada Maria pada hari Yesus diperkandung oleh Roh Kudus: “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapak leluhur-Nya” (Luk 1:31-32). Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa seruan si orang buta itu adalah sebuah “Pernyataan Iman”. Banyak orang telah menyaksikan karya Yesus namun tetap buta sehubungan dengan identitas sesungguhnya dari Yesus. Sang Mesias yang diumumkan oleh nabi Yesaya adalah Dia yang membuat “mata orang-orang buta dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka” (Yes 35:5; bdk. Luk 4:18).

Yesus berhenti dan menyuruh membawa orang buta itu kepada-Nya. Nyatalah bahwa sekarang Yesus menerima gelar kerajaan yang sebelum itu dilarang-Nya untuk digunakan (Mat 9:30). Mengapa begitu? Karena sengsara dan kematian-Nya sudah dekat … sudah di depan mata! Segala aspirasi politik dan nasionalisme yang ingin dihubungkan dengan diri Yesus oleh orang-orang di sekeliling-Nya jelas tidak diinginkan-Nya. Dia sedang berada dalam perjalan ke Yerusalem, bukan untuk merebut kekuasaan, melainkan untuk mati bagi kita semua.

Setelah mendengar permintaan si orang buta itu, kalimat terakhir dari Yesus dalam episode ini adalah: “Melihatlah sekarang, imanmu telah menyelamatkan engkau!” (Luk 18:42). Lukas mencatat: “Seketika itu juga ia dapat melihat, lalu mengikuti Dia sambil memuliakan Allah. Melihat hal itu, seluruh rakyat memuji-muji Allah”. Jadi, tidak seperti cerita orang kaya yang “gagal” menjadi pengikut Yesus karena banyak hartanya (lihat Luk 18:18-27), maka cerita si buta ini diakhiri dengan sebuah “happy ending”.

DOA: Tuhan Yesus Kristus, berikanlah kepadaku iman dan celikkanlah mataku juga sehingga – seperti orang buta di Yerikho – aku pun dapat mengikuti Engkau …… ke Salib! …… dan kepada Paskah kebangkitan-Mu. Terpujilah nama-Mu selalu! Amin.

Jakarta, 14 November 2021 [HARI MINGGU BIASA XXXIII – TAHUN B]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

ALLAH BUKANNYA ALLAH ORANG MATI, MELAINKAN ALLAH ORANG HIDUP

(Bacaan Injil Misa Kudus, Peringatan Wajib SP Maria Dipersembahkan kepada Allah – Sabtu, 21 November 2020

Kemudian datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka bertanya kepada-Nya, “Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seseorang yang mempunyai saudara laki-laki, mati, sedangkan istrinya masih ada, tetapi ia tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan istrinya itu dan memberi keturunan bagi saudaranya itu. Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan lalu mati dengan tidak meninggalkan anak. Lalu perempuan itu dikawini oleh yang kedua, dan oleh yang ketiga dan demikianlah berturut-turut oleh ketujuh saudara itu, merekanya semuanya mati tanpa meninggalkan anak. Akhirnya perempuan itu pun mati. Bagaimana sekarang dengan perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristrikan dia.” Jawab Yesus kepada mereka, “Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan. Mereka tidak dapat mati lagi, sebab mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan. Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam cerita tentang semak duri, di mana ia menyebut sebagai Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” Mendengar itu beberapa ahli Taurat berkata, “Guru, jawab-Mu itu tepat sekali.” Sebab mereka tidak berani lagi menanyakan apa-apa kepada Yesus. (Luk 20:27-40)

Bacaan Pertama: Why 11:4-12; Mazmur Tanggapan: Mzm 144:1-2,9-10

Dalam bacaan Injil hari ini Yesus ditantang oleh sekelompok orang Yahudi ultra-konservatif – orang-orang Saduki – yang mendasarkan semua kepercayaan mereka atas tafsir yang bersifat literal atas hukum Musa dan yang menyangkal adanya kehidupan setelah kematian.

Orang-orang Saduki itu datang dengan dengan sebuah masalah/persoalan tentang seorang perempuan yang telah mengawini tujuh orang suami (mereka adalah kakak-beradik, untuk mengikuti hukum Levirat). Siapakah dari tujuh bersaudara yang telah menikah dengan satu perempuan selagi masih di dunia yang menjadi suaminya di dunia akhirat kelak? Ini dimaksudkan untuk membuktikan keyakinan mereka bahwa tidak ada kebangkitan badan setelah seseorang mati. Menanggapi orang-orang Saduki tersebut Yesus menyitir Kitab Suci mereka untuk mengklaim bahwa orang mati sungguh akan mengalami kebangkitan. Yesus dengan amat tegas mengatakan bahwa  hidup kekal-abadi tidak dapat dipikirkan dalam kerangka kehidupan di dunia ini. Di dunia akhirat tak ada lagi pernikahan, sebab mereka tidak akan mati lagi.

Yesus mengacu kepada nas Kitab Suci di mana Allah menyatakan diri-Nya kepada Musa pada semak duri dengan api bernyala (tetapi tidak membakar) sebagai Allah dari  ayahnya secara biologis, Allah dari Abraham, Allah dari Ishak dan Allah dari Yakub. Dengan perkataan lain, Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup. Semua hidup bagi Allah (lihat  Kel 3:2,6).

Kita sungguh tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Kitab Suci terhadap pertanyaan berikut ini: “Bagaimana ‘seorang’ Allah yang baik memperkenankan begitu banyak kejahatan terjadi, seperti pembantaian tujuh orang laki-laki bersaudara (2Mak 7:1-42)? Patut dicatat bahwa kita baru mendapatkan afirmasi dari iman kita setelah kita mengalami kematian. 

Betapa mengerikan sekalipun  suatu kematian, apakah karena terorisme atau perang nuklir, kehidupan di esok harinya akan mengalami restorasi.  Suatu surga yang baru dan sebuah bumi yang baru akan muncul. Bahkan seandainya tubuh-tubuh kita sudah menguap karena ledakan bom nuklir, pada suatu hari semua itu bangkit dari debu  – direstorasikan dan ditransformasikan oleh Tuhan – karena Allah kita adalah Allah orang hidup dan bukan Allah orang mati.

Kalau hal ini ini akan benar sehari setelah selesai perang nuklir, maka hal ini juga benar sebelum terjadinya peristiwa tersebut. Pengharapan Kristiani tidak memperkenankan adanya keputusasaan. Betapapun dekatnya kita dengan maut, apakah karena penyakit kanker ganas atau karena pengaruh radioaktif yang disebabkan oleh serangan nuklir, kita tidak dapat membiarkan diri kita lesu-tak bersemangat. Selama kita masih hidup, pencarian kita akan perdamaian harus mencerminkan optimisme Kristiani, bukan pesimisme. Selama kita hidup, upaya-upaya kita untuk membangun Kerajaan Allah harus menunjukkan suatu apresiasi juga terhadap aspek keduniawiannya, tidak membuangnya samasekali. Selama kita hidup, hari ini adalah satu-satunya hari yang berarti, bukan sehari setelah itu. Dengan iman dan pengharapan Kristiani kita cukup kuat untuk survive hari ini, dan hari setelahnya dst.

Sebagai penutup, saya ulangi lagi  bahwa Allah menjelaskan diri-Nya adalah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Hal ini berarti bahwa Bapa-Bapa bangsa itu masih hidup sampai sekarang ini, sebab Allah yang hidup haruslah menjadi Allah orang yang hidup, bukannya Allah orang-orang mati. Allah tidak berhenti menjadi Allah bagi mereka yang melayani dan mengasihi Dia. Hanya ada satu hal yang tidak dapat binasa, yaitu cintakasih.

DOA: Tuhan Yesus, Engkau telah mengikat diri-Mu kepada kami masing dalam kasih. Persatukanlah kami dengan Engkau dan transformasikanlah semua pilihan kami menjadi tanggapan-tanggapan terhadap kasih-Mu yang besar dan agung. Amin.

Jakarta, 20 November 2020 [FMM: Peringatan Fakultatif S. Agnes dr Assisi, Pelindung Pra-Novis FMM]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

HARUS SELALU DIBERSIHKAN

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIII – Jumat, 20 November 2020)

FMM: Peringatan Fakultatif S. Agnes dr Assisi, Pelindung para Novis FMM

Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ, kata-Nya kepada mereka, “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”

Tiap-tiap hari Ia mengajar di dalam Bait Allah. Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang terkemuka dari bangsa itu berusaha untuk membinasakan Dia, tetapi mereka tidak tahu, bagaimana harus melakukannya, sebab semua orang terpikat kepada-Nya dan ingin mendengarkan Dia. (Luk 19:45-48)

Bacaan Pertama: Why 10:8-11; Mazmur Tanggapan: Mzm 119:14,24,72,105,111,131

Menjual hewan kurban dan menukar uang asing merupakan jasa pelayanan yang memang diperlukan untuk kepentingan para peziarah yang datang ke kota Yerusalem. Pada kenyataannya, sejumlah “pasar” itu berlokasi di dekat Bait Suci. Namun di bawah kepengurusan imam besar Kayafas, halaman bagian luar Bait Suci juga menjelma menjadi pasar yang ramai. Penyusupan tempat berdagang ini ke dalam halaman bangunan suci ini sungguh tidak berkenan di mata sejumlah orang, namun apa daya …… karena tempat itu dikelola oleh para petugas Bait Suci.

Bayangkanlah betapa hiruk-pikuknya tempat seperti itu: Domba-domba mengembik keras sambil mengeluarkan aroma yang tidak menyedapkan, burung-burung dara mengepak-ngepakkan sayap dan gemerincing uang-uang logam para penukar uang sungguh mengganggu telinga. Bayangkanlah betapa sulitnya dan tidak nyamannya “orang-orang yang takut kepada Allah” (mereka adalah non-Yahudi) yang hanya diperbolehkan masuk sampai batas itu saja, tidak boleh masuk lebih jauh lagi. Oleh karena itu Yesus mengusir para pedagang karena Dia ingin memelihara Bait Suci sebagai tempat doa bagi setiap orang. Yesus tentunya juga merasa terganggu dengan para pedagang yang mendongkrak nilai tukar mata uang atau menjual hewan-hewan kurban dengan harga “setinggi langit”. Praktek-praktek sedemikianlah yang membuat Yesus dengan geram menyatakan, “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” (Luk 19:46).

Sebagaimana halnya dengan para imam di Bait Allah dan para administratur pada zaman Yesus, kita manusia zaman modern yang adalah para anggota Gereja juga menghadapi banyak perangkap. Kepentingan diri-sendiri senantiasa ingin menguasai hati dan tindakan-tindakan kita. Di dunia Barat mereka yang dinamakan “Katolik konservatif” dan “Katolik Liberal” tergoda untuk saling mengkritisi dengan keras. Dewan paroki dapat merupakan ajang pertikaian dan konflik, juga arena clash antara pribadi-pribadi yang duduk di sana, lebih daripada hasrat yang tulus untuk membangun Gereja. “Ketiadaan doa” setiap saat dapat merampas kita dari “sukacita dan damai-sejahtera” yang senantiasa harus menjadi “tanda” dari orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Kalau begitu halnya, bagaimana kita masih tetap menyatakan, bahwa kita percaya pada Gereja yang “satu, kudus, katolik dan apostolik”? Jawabnya: Karena Gereja itu sebuah institusi yang bersifat insani dan pada saat yang sama bersifat ilahi. Dengan begitu, kekudusan Gereja adalah “riil”, namun juga “tidak sempurna” (lihat “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja”, 48). “Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan” (Lumen Gentium, 8).

Masing-masing kita dapat berpartisipasi dalam pembaharuan Gereja yang berkesinambungan melalui doa-doa kita, dan lewat upaya yang tulus untuk senantiasa berjalan dalam kasih Tuhan. Marilah kita bersama-sama bergabung dalam gerakan pembaharuan Gereja, “supaya tanda Kristus dengan lebih cemerlang bersinar pada wajah Gereja” (Lumen Gentium, 15).

DOA: Tuhan Yesus Kristus, bersihkanlah hati kami dari segala hal yang merusak citra-Mu dalam diri kami. Tolonglah kami agar dapat mencerminkan kekudusan-Mu dan kebaikan-Mu kepada setiap orang yang melihat Gereja-Mu. Amin.

Jakarta, 19 November 2020 [Peringatan Wajib/Peringatan Fakultatif S. Agnes dr Assisi, Perawan]

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS